Etika (Yunani Kuno:
"ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah
sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat
yang mempelajari nilai
atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup
analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. St. John of Damascus (abad ke-7
Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).
Etika
dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat
spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena
pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk
itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia. Etika memiliki sudut pandang normative, maksudnya etika melihat
dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Dalam
bersosialisasi di masyarakat, manusia memerlukan etika sebagai pedoman dalam
berkata, berpikir dan melakukan suatu kebiasaan yang baik untuk dianut sehingga
dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Maka dari itu,
pemahaman akan etika dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat sangat
penting untuk dalam mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Etika
menjadi tolak ukur dalam menghadapi berbagai perbedaan moral yang ada di
masyarakat. Sehingga masyarakat dapat berargumentasi secara rasional dan kritis
serta dapat mengambil sikap wajar dalam menghadapi sesamanya.
Etika memiliki cakupan yang sangat luas dalam kehidupan manusia. Etika dalam masyarakat berkembang sesuai dengan adat istiadat , kebiasaan, nilai dan pola perilaku manusia terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya dalam kehidupan masyarakat.
Etika memiliki cakupan yang sangat luas dalam kehidupan manusia. Etika dalam masyarakat berkembang sesuai dengan adat istiadat , kebiasaan, nilai dan pola perilaku manusia terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya dalam kehidupan masyarakat.
Berikut
ini contoh-contoh etika dalam kehidupan
sehari-hari :
·
Mengucapkan salam saat bertamu
·
Mencium tangan sebelum melakukan
aktivitas sehari-hari
·
Membuang sampah pada tempatnya
·
Berkata sopan dan bertingkahlaku santun
kepada sesame
HUKUM PIDANA
Hukum Pidana adalah keseluruhan
dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan
termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat
dijatuhkan terhadap yang melakukannya.
Menurut Prof. Moeljatno, S.H.
Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
- Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
- Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Sedangkan menurut Sudarsono,
pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan
pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan
pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri,
melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk
menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan
kesusilaan.
Sumber-Sumber
Hukum Pidana
Sumber Hukum Pidana dapat
dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di
Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana antara lain :
- Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
- Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
- Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa
Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah
kemerdekaan antara lain:
- UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.
- UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
- UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme.
Ketentuan-ketentuan Hukum
Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus,
juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU.
No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan
sebagainya.
Asas-Asas Hukum Pidana
- Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP). Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)
- Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.
- Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing (pasal 2 KUHP).
- Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana di mana pun ia berada (pasal 5 KUHP).
- Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara (pasal 4 KUHP).
Macam-Macam Pidana
Mengenai hukuman apa yang dapat
dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan
dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam
hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut:
Hukuman-Hukuman Pokok :
- Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih diberlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.
- Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan ke dalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.
- Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan di luar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan di mana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian.
- Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.
- Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.
Hukuman Tambahan Hukuman
tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan
pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain:
- Pencabutan hak-hak tertentu.
- Penyitaan barang-barang tertentu.
- Pengumuman keputusan hakim.
“Contoh Kasus Hukum Pidana : Penipuan”
Kasus penipuan sudah sering
terjadi. Ini merupakan salah satu contoh kasus hukum pidana.
Kasus penipuan ini biasanya dilakukan dengan modus meminta uang di depan
sebelum barang atau jasa diberikan kepada seseorang. Pada akhirnya, uang telah
diserahkan namun barang atau jasa tidak dilaksanakan oleh pihak penerima uang.
Kasus penipuan ini dapat dijerat
dengan pasal 378 KUHP :
â??Barang siapa dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahunâ?
HUKUM PERDATA
Hukum Perdata
adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu
dalam masyarakat.
Dalam tradisi hukum
di daratan Eropa
(civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat
atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo-Saxon
(common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.
Hukum
perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum
Napoleon kemudian berdasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang
burgerlijk wetboek voor Indonesie (disingkat BW) atau disebut sebagai KUH
Perdata. BW sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah
Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan asli yaitu
dari Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun berdasarkan kepada pasal 2
aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh peraturan yang dibuat oleh
pemerintah Hindia-Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia (azas
konkordasi). Beberapa ketentuan yang terdapat di dalam BW pada saat ini telah
diatur secara terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan.
Misalnya berkaitan tentang tanah, hak tanggungan dan fidusia.
Kodifikasi KUH Perdata Indonesia
diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1848.
Setelah Indonesia Merdeka,
berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata
Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang-Undang
baru berdasarkan Undang–Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda merupakan induk
hukum perdata Indonesia.
KUH Perdata terdiri atas empat 4
bagian, yaitu:
- Buku 1 tentang Orang / Van Personnenrecht
- Buku 2 tentang Benda
- Buku 3 tentang Perikatan / Verbintenessenrecht
- Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian / Verjaring en Bewijs
“Contoh Kasus Hukum Perdata : Perebutan Harta Warisan”
Menurut
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), ada dua cara untuk
memperoleh harta warisan : secara absentatio dan testamentair.
Pewarisan
berdasarkan testamentair artinya pewarisan didasarkan pada wasiat dari orang
yang meninggal (pewaris). Pewarisan dengan wasiat tersebut harus dibuat dengan
Surat Wasiat. Surat wasiat atau testament adalah
surat atau akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya kelak terhadap harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia.
Sebuah wasiat harus dibuat dalam bentuk akta atau surat (yang
ditandatangani oleh pewaris), dan tidak boleh hanya
dalam bentuk lisan. Surat tersebut harus berisi pernyataan tegas dari pewaris
tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya jika ia kelak
meninggal dunia. Sebelum pewaris meninggal dunia, surat wasiat tersebut
masih dapat dicabut atau diubah oleh pewaris.
Agar
sebuah surat wasiat bernilai hukum dan tidak cacat, maka harus diperhatikan
hal-hal berikut:
- Pewaris harus telah dewasa, yaitu telah berumur minimal 21 tahun.
- Obyek warisan yang akan diwariskan harus jelas dan tegas, dan merupakan milik dari pewaris.
- Obyek warisan bukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum atau bertentangan dengan kesusilaan dan kepentingan umum.
- Pewaris memiliki akal yang sehat (tidak terganggu jiwanya), menandatangani surat wasiat tanpa tekanan atau paksaan, tidak berada dalam kekhilafan atau kekeliruan, dan tidak sedang berada dibawah pengampuan.
Pewarisan secara absentatio adalah
pewarisan menurut undang-undang karena adanya hubungan kekeluargaan (hubungan
darah). Berbedadengan absentatio, pewarisan
berdasarkan testamentair dilakukan dengan cara penunjukan, yaitu pewaris (orang
yang meninggalkan harta warisan)
semasa hidupnya telah membuat surat
wasiat (testament) yang menunjuk seseorang
untuk menerima harta warisan yang ditinggalkannya kelak.
Pewarisan secara
absentatio membagi ahli waris atas 4 (empat) golongan:
Golongan I,
yaitu jika pewaris telah menikah, maka yang menjadi ahli waris adalah
istri/suami dan/atau anak-anak pewaris.
Golongan II,
yaitu jika pewaris belum menikah, atau telah menikah tapi cerai dan tidak
mempunyai anak (tidak memiliki ahli waris Golongn I), maka yang menjadi ahli
waris adalah orang tua (ayah dan ibu) dan/atau saudara-saudaranya.
Golongan III,
Jika pewaris tidak memiliki hubungan kekeluargaan dalam Golongan I dan Golongan
II diatas, maka yang menjadi ahli waris adalah keluarga dalam garis lurus ke
atas, baik dari ayah maupun ibu.
Golongan IV,
jika pewaris tidak memiliki hubungan kekeluargaan dalam Golongan I, Golongan II
dan Golongan III diatas, maka yang menjadi ahli waris adalah kerabat pewars
dalam garis keturunan menyamping sampai derajat keenam. (www.legalakses.com).
Dibawah
ini adalah contoh kasus Perebutan Harta Warisan, dimana seorang mantan suami
yang telah meninggal dan hartanya menjadi rebutan antara sang ibu dari almarhum
dengan mantan istri dari almarhum, berikut simak beritanya.
Sidang Rebutan Warisan
Adi Firansyah
indosiar.com,
Jakarta - Kasus rebutan warisan almarhum Adi Firansyah akhirnya bergulis ke
Pengadilan. Sidang pertama perkara ini telah digelar Kamis (12/04) kemarin di
Pengadilan Agama Bekasi. Warisan pesinetron muda yang meninggal akibat
kecelakaan sepeda motor ini, menjadi sengketa antara Ibunda almarhum dengan
Nielsa Lubis, mantan istri Adi.
Nielsa
menuntut agar harta peninggalan Adi segera dibagi. Nielsa beralasan Ia hanya
memperjuangkan hak Chavia, putri hasil perkawinannya dengan Adi. Sementara
Ibunda Adi mengatakan pada dasarnya pihaknya tidak keberatan dengan pembagian
harta almarhum anaknya. Namun mengenai rumah yang berada di Cikunir Bekasi,
pihaknya berkeras tidak akan menjual, menunggu Chavia besar.
Menurut
Nielsa Lubis, Mantan Istri Alm Adi Firansyah, "Saya menginginkan
penyelesaiannya secara damai dan untuk pembagian warisan toh nantinya juga buat
Chavia. Kita sudah coba secara kekeluargaan tapi tidak ada solusinya."
Menurut
Ny Jenny Nuraeni, Ibunda Alm Adi Firansyah, "Kalau pembagian pasti juga
dikasih untuk Nielsa dan Chavia. Pembagian untuk Chavia 50% dan di notaris
harus ada tulisan untuk saya, Nielsa dan Chavia. Rumah itu tidak akan dijual
menunggu Chavia kalau sudah besar."
Terlepas
dari memperjuangkan hak, namun mencuatnya masalah ini mengundang keprihatinan.
Karena ribut-ribut mengenai harta warisan rasanya memalukan. Selain itu, sangat
di sayangkan jika gara-gara persoalan ini hubungan keluarga almarhum dengan
Nielsa jadi tambang meruncing.
Sebelum
ini pun mereka sudah tidak terjalin komunikasi. Semestinya hubungan baik harus
terus dijaga, sekalipun Adi dan Nielsa sudah bercerai, karena hal ini dapat
berpengaruh pada perkembangan psikologis Chavia.
"Saya
tidak pernah komunikasi semenjak cerai dan mertua saya tidak pernah
berkomunikasi dengan Chavia (jaranglah)", ujar Nielsa Lubis.
"Bagaimana
juga saya khan masih mertuanya dan saya kecewa berat dengan dia. Saya siap akan
mengasih untuk haknya Chavia", ujar Ny Jenny Nuraeni. (Aozora/Devi)
Solusi:
Dikasus
ini, yang meninggalkan harta warisan adalah almarhum mantan suami yang menjadi
rebutan antara sang ibu almarhum dengan mantan istri almarhum, dan almarhum
telah memiliki anak dari mantan istrinya.
Untuk
status rumah yang ditinggalkan oleh almarhum, tergantung kapan almarhum
memiliki rumah tersebut, jika almarhum sudah memilikinya sejak masih bersama
mantan istri maka status rumah merupakan harta bersama atau harta gono gini
yang diperoleh dari almarhum saat masih bersama mantan istrinya. Hal ini sesuai
dengan pengertian harta bersama menurut ketentuan pasal 35 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Dan
Apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut
hukum masing masing (pasal 37 UUP). Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing
ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Mengenai
harta benda dalam perkawinan, pengaturan ada di dalam pasal 35 UUP dan
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Harta
bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan dikuasai oleh
suami dan istri dalam artian bahwa suami atau istri dapat bertindak terhadap
harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang
dimaksud "hukumnya" masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan
hukum-hukum lain (pasal 37 UUP).
2. Harta
bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika
terjadi perkawinan dan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau
istri. Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat 2 UUP). Tetapi apabila pihak suami
dan istri menentukan lain, misalnya dengan perjanjian perkawinan, maka
penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian
juga apabila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh
masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
3. Harta perolehan, yaitu
harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai hadiah atau
warisan dan penguasaannya pada dasarnya seperti harta bawaan.
Berdasarkan
uraian di atas apabila dikaitkan dengan kasus diatas maka mantan istri almarhum
mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung tanpa melihat alasan-alasan yang diajukan dan harta tersebut
disebut harta bersama.
Mengenai
hibah terhadap anak dapat saja dilakukan tetapi tanpa penghibahan pun seorang
anak secara otomatis sudah menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Hibah
dapat dilakukan jika tidak merugikan apa yang menjadi hak dari ahli waris,
disamping itu mantan istri almarhum juga berhak atas harta warisan tersebut.
Sumber :
http://adhiesuseno.blogspot.com/2014/03/contoh-kasus-hukum-perdata-perebutan.html